Match Point oleh Saufina
Gramedia digital, Edisi Bahasa Indonesia, 240 halaman
Gramedia digital, Edisi Bahasa Indonesia, 240 halaman
Terbit pada 18 Agustus 2018
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
(Pertama kali terbit 20 Juli 2018)
Gramedia Writing Project
Ragil Satihardi digadang-gadang bakal menjadi penerus Taufik Hidayat di dunia bulutangkis, apalagi setelah mewarisi raket andalan yang pernah digunakan Taufik ketika menjuarai Olimpiade. Belakangan, prestasi atlet Pelatnas tunggal putra itu justru merosot tajam. Tekanan dari media sosial pun semakin membuat Ragil menarik diri.Setelah gagal mewawancarai Susi Susanti, Sheva jurnalis muda di Tabloid Arena ditugasi untuk meliput aktivitas Ragil Satihardi. Harusnya sih tak susah-susah amat, andai saja yang dia hadapi bukan atlet sombong dan menyebalkan macam Ragil yang membuatnya nyaris putus asa.Kegigihan Sheva dan dedikasinya sebagai jurnalis badminton menjadi tamparan halus bagi Ragil, dan entah mengapa keberadaan gadis itu di pinggir lapangan menunggu kesempatan wawancara menjadi penyemangat baginya untuk mencetak poin.Dan ketika permainan semakin seru, Ragil dan Sheva dihadapkan pada dua pilihan; meraih satu poin tersisa kemudian menjadi pemenang, atau memberikan kesempatan kepada lawan untuk terus berjuang lalu menjadikan diri sendiri sebagai pecundang. Match point!
Review:
Lucu dan gemesin 😂
Nah, jadi aku tertarik baca buku ini setelah lihat feed Goodreads, kalau buku ini lagi masuk currently reading-nya Mbak Desty. Trus kebetulan juga selama di Jepang aku ikutan main badminton sama anak-anak PPIJ (Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang) komsat Nagoya walaupun nggak bisa-bisa amat. Palingan cuma buat saling pukul kok, biar gerak dan olahraga tipis-tipis sekalian sebagai ajang silaturahim sesama pelajar Indonesia di rantauan negeri sakura. Bahkan, aku menulis review ini sehabis pulang dari main bulutangkis, lho! 😂
Tentang buku ini: ceritanya bagus. Baru kali ini baca Young-adult Gramedia, sih. Lebih sering baca teenlit, dan aku udah paham pakemnya teenlit. Young-adult ini ngasih kesegaran baru di tipe bacaanku. Masih ada kesan remajanya kalau dilihat dari interaksi para tokohnya, seperti gaya pacaran yang agak-agak genit, tapi juga nggak se-lebay remaja karena umumnya para karakter nggak pendendam.
Konfliknya seputar kesalahpahaman. Ada juga seputar kegalauan memahami jalan hidup yang dipilih. Pas banget untuk orang-orang seusia karakter yang diceritakan.
Karakternya secara umum nggak ada yang kubenci banget dan kusukai banget. Biasa aja, khas orang-orang umur segitu, manusiawi dan bisa dimaklumi kegalauannya. Kalau senang dengan bulutangkis tapi yang nggak serius-serius amat, buku ini cocok dibaca. Ringan dan nggak terlalu banyak mikir, tapi tetep berkesan.
Penggambaran game-nya keren banget, lho! Terasa banget keseruan dan ketegangannya. Penulis benar-benar melakukan riset yang mendalam. Atau mungkin juga ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Apapun itu, fiksi ini menyenangkan untuk dibaca.
Oiya, cuma satu typo yang kutemukan yaitu penulisan coffe shop kurang huruf 'e' satu. Trus juga aku agak heran dengan nama Ragil. Dalam bahasa Jawa, Ragil artinya anak bungsu, tapi di cerita dia anak tunggal. Padahal penggambaran sifatnya cocok banget sama namanya, Ragil. Tapi bisa jadi kakaknya meninggal sebelum dia lahir, trus ibunya mengalami komplikasi sehingga dia menjadi anak pertama sekaligus terakhir. Hadeh, mulai dah si Hani mengkhayal yang tidak-tidak... 😂
View all my reviews
Nah, jadi aku tertarik baca buku ini setelah lihat feed Goodreads, kalau buku ini lagi masuk currently reading-nya Mbak Desty. Trus kebetulan juga selama di Jepang aku ikutan main badminton sama anak-anak PPIJ (Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang) komsat Nagoya walaupun nggak bisa-bisa amat. Palingan cuma buat saling pukul kok, biar gerak dan olahraga tipis-tipis sekalian sebagai ajang silaturahim sesama pelajar Indonesia di rantauan negeri sakura. Bahkan, aku menulis review ini sehabis pulang dari main bulutangkis, lho! 😂
Tentang buku ini: ceritanya bagus. Baru kali ini baca Young-adult Gramedia, sih. Lebih sering baca teenlit, dan aku udah paham pakemnya teenlit. Young-adult ini ngasih kesegaran baru di tipe bacaanku. Masih ada kesan remajanya kalau dilihat dari interaksi para tokohnya, seperti gaya pacaran yang agak-agak genit, tapi juga nggak se-lebay remaja karena umumnya para karakter nggak pendendam.
Konfliknya seputar kesalahpahaman. Ada juga seputar kegalauan memahami jalan hidup yang dipilih. Pas banget untuk orang-orang seusia karakter yang diceritakan.
Karakternya secara umum nggak ada yang kubenci banget dan kusukai banget. Biasa aja, khas orang-orang umur segitu, manusiawi dan bisa dimaklumi kegalauannya. Kalau senang dengan bulutangkis tapi yang nggak serius-serius amat, buku ini cocok dibaca. Ringan dan nggak terlalu banyak mikir, tapi tetep berkesan.
Penggambaran game-nya keren banget, lho! Terasa banget keseruan dan ketegangannya. Penulis benar-benar melakukan riset yang mendalam. Atau mungkin juga ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi. Apapun itu, fiksi ini menyenangkan untuk dibaca.
Oiya, cuma satu typo yang kutemukan yaitu penulisan coffe shop kurang huruf 'e' satu. Trus juga aku agak heran dengan nama Ragil. Dalam bahasa Jawa, Ragil artinya anak bungsu, tapi di cerita dia anak tunggal. Padahal penggambaran sifatnya cocok banget sama namanya, Ragil. Tapi bisa jadi kakaknya meninggal sebelum dia lahir, trus ibunya mengalami komplikasi sehingga dia menjadi anak pertama sekaligus terakhir. Hadeh, mulai dah si Hani mengkhayal yang tidak-tidak... 😂
View all my reviews
Bonus Hani yang pakai jilbab pink-keunguan dan kaus abu-abu sedang bermain bulutangkis 😂 |
Tentang penulis:
Saufina
Sajidah Ummu Afinah lahir dan masih tinggal di Probolinggo, Jawa Timur. Selain
membaca novel, juga gemar mendengarkan lagu apa saja yang enak didengar,
menonton pertandingan bulutangkis dan sepak bola, stalking-in medsos Kento
Momota dan David Villa, serta mencoba berbagai resep masakan meski berujung
gosong, hambar, atau keasinan, tapi alhamdulillah konsumennya tidak pernah
protes apalagi keracunan.
Sedang dan akan terus belajar menulis. Match Point adalah novel pertamanya
yang ditulis di sela-sela kepenatan mengerjakan skripsi, tepatnya saat
mengetahui ada ajang Gramedia Writing Project #3 tahun lalu.
Jika ingin bertukar sapa, bisa melalui Instagram @sajidahummuafinah, pasti
dibalas kalau tidak sedang tidur atau keasyikan melamun.