Death's End by Liu Cixin (Remembrance of Eath's Past #3)
Translator: Ken Liu
Published: 2010
E-book, English edition, 608 pages.
My rating: 5 of 5 stars
★★★★★

Blurb: Cheng Xin, an aerospace engineer from the early 21st century, awakens from hibernation in this new age. She brings with her knowledge of a long-forgotten program dating from the beginning of the Trisolar Crisis, and her very presence may upset the delicate balance between two worlds. Will humanity reach for the stars or die in its cradle?

With The Three-Body Problem, English-speaking readers got their first chance to experience the multiple-award-winning and bestselling Three-Body Trilogy by China's most beloved science fiction author, Cixin Liu. Three-Body was released to great acclaim including coverage in The New York Times and The Wall Street Journal. It was also named a finalist for the Nebula Award, making it the first translated novel to be nominated for a major SF award since Italo Calvino's Invisible Cities in 1976.

Now this epic trilogy concludes with Death's End. Half a century after the Doomsday Battle, the uneasy balance of Dark Forest Deterrence keeps the Trisolaran invaders at bay. Earth enjoys unprecedented prosperity due to the infusion of Trisolaran knowledge. With human science advancing daily and the Trisolarans adopting Earth culture, it seems that the two civilizations will soon be able to co-exist peacefully as equals without the terrible threat of mutually assured annihilation. But the peace has also made humanity complacent.

Review:
...
...
Sorry, I'm speechless.
I don't think I can make a review of this book without spoiler.
I need time to think.
When the time comes, the review I write will be full of spoilers.
You have been warned.
So, here it is.

Kalau komentarku ketika membaca buku sebelumnya adalah MINDBLOWING, maka buku ini membuat otakku meledak sampai berkeping-keping dan hilang tersapu angin.

Makan Malam Bersama Dewi Gandari by Indah Darmastuti
My rating: 3 of 5 stars
Penerbit: Bukukatta (2016)
Paperback, Edisi Bahasa Indonesia, 127 hlm.

Blurb:
Waktu adalah faktor penting dalam permainan 
Waktu menguasai irama pada gerak, pada pertemuan dan percakapan

Dari pertemuan dan percakapan, manusia melahirkan kisah dan mengungkapkan dirinya dalam kuasa waktu, sebagai manusia yang perlu berbahagia, sebagai manusia yang dirundung duka lara, sebagai manusia sial atas nasib, sebagai manusia yang harus memberikan perhitungan atas nasib hidupnya.

Dan tak pelak lagi, semua ini semakin mengkristal dalam sosok-sosok perempuan. Seorang perempuan atau tokoh perempuan dalam banyak kasus adalah yang paling merasakan penderitaan tiap-tiap perjuangan kemanusiaan, bahkan sering menjadi korban-korbannya seperti yang menggema dalam kisah-kisah Indah di buku ini.

Aku mungkin hanya ingin membaca cerita-cerita Indah di buku ini dalam gerak perlintasan sastra Indonesia yang sudah memasuki ruang pasca-Indonesia—kata yang dipopulerkan Romo Mangunwijaya. Dan, sebagaimana aku membaca Romo Mangunwijaya, Indah juga begitu banyak mengambil arus kemanusiaan yang menjadi serat dasar kisah-kisahnya, tentu saja dengan intensitas yang berbeda.

Indah Darmastuti lahir dan tinggal di Solo. Mengasuh kegembiraan dan mengasah kegemaran bersama teman-teman Buletin Sastra Pawon-Solo. Menerbitkan novel: Kepompong (2006) dan kumpulan novelette: Cundamanik (2012).

Review:
Tulisan-tulisan yang terdapat dalam kumpulan cerpen ini semuanya sangat indah, seindah nama penulisnya. Hanya dengan kumpulan karakter yang jumlahnya tak seberapa, mampu memerangkap sebanyak mungkin bentuk emosi di dalamnya. Memang ada banyak kegetiran, tapi bentuk perasaan lain yang mendalam juga terungkap dalam beberapa cerpen lainnya.