Milea: Suara Dari Dilan by Pidi Baiq
My rating: 4 of 5 stars
iPusnas, 360 pages
Published August 31st 2016 by Pastel Books
Blurb:
Ulasan:
Ah, sudahlah. Nggak ada gunanya ngubek-ubek masa lalu yang bikin pedih. Toh, mau diubek-ubek seperti apa pun, masa lalu nggak akan berubah. Dikenang boleh, disesali jangan. Diambil hikmahnya, lebih baik lagi. Karena life must go on, my friend.
Penulisan buku ketiga seri Dilan ini lebih bagus daripada kedua buku sebelumnya. Lebih rapi, dan kaidah berbahasa yang baik juga lebih diperhatikan. Mungkin untuk memberikan pembeda yang lebih nyata, karena dua buku sebelumnya ditulis dari sudut pandang Milea, sedangkan buku terakhir seri ini ditulis dari sudut pandang Dilan.
Bagian kocaknya lebih terasa lucu, mungkin karena dipaparkan dari sudut pandang Dilan. Walaupun ada bagian yang mengulang kejadian buku-buku sebelumnya, tapi bagian-bagian itu diceritakan berbeda. Setelah membaca buku ini, kejadian-kejadian dari buku-buku sebelumnya jadi terasa lebih detail. Ketiga bukunya terasa saling melengkapi.
Seri ini sepenangkapan saya berisi curahan hati dari sebuah hubungan remaja putra dan putri. Semua diserahkan ke pembaca bagaimana menyikapinya. Kalau saya, inti dari pemaparan cerita ini adalah untuk menjelaskan salah satu proses kehidupan, yang bisa jadi penuh suka cita, kekeraskepalaan, kesedihan, serta usaha untuk mengikhlaskan. Dan semuanya diceritakan dengan sederhana, sesederhana kejadian yang terjadi saban harinya, yang bakal nggak kentara kalau nggak ditulis.
Baper? Ya, saya setuju kalau buku ini bikin baper. Tapi bagian paling bikin baper menurut saya adalah bagian ketika Dilan menceritakan ayahnya. Di buku sebelumnya, keluarga Dilan yang paling banyak disinggung adalah bundanya Dilan. Sebagai pelengkap, buku ini banyak menceritakan tentang sang ayah.
Kok sosok ayah yang dijabarkan oleh Dilan hampir sama dengan yang saya rasakan, walaupun latar belakang beliau berdua ini sangat berbeda. Bagi saya, sosok ayah adalah sosok yang misterius. Jarang berinteraksi langsung secara verbal (bahkan saat berbicara pun kesannya berteka-teki, sampai saya nggak bisa membedakan kapan beliau serius karena terkesan seperti bercanda), tapi bahasa tubuhnya bisa kentara dibaca. Tapi kalau sudah keluar ketegasannya, sangat bijaksana kalau tidak menjawab balik.
Nah, jadi curhat, kan. Jadi sesenggukan, kan. Jadi rindu, kan. Jadi pengen pulang, kan. Kalau saja saya sekarang sedang nggak diusik oleh “spectra labil yang hanya muncul di durasi tertentu” (abaikan), saya bakal browsing tiket untuk pulang. Tapi rasa tanggung jawab ini masih menahan saya di sini.
Yah, sekali lagi, life must go on. Mau disinggung sesering apa pun, masa lalu nggak akan kembali. Lebih baik diikhlaskan saja, karena memang sudah bukan jalannya (ngomong sih, gampang). Tapi, perasaan yang tertinggal itu tanggung jawab masing-masing. Kalau belum move on, jangan salahkan pihak lain.
View all my reviews
Tentang penulis:
Pidi Baiq adalah seorang seniman yang punya banyak kelebihan. Selain sebagai seorang musisi dan pencipta lagu, ia juga seorang penulis, ilustrator, pengajar dan komikus. Pidi Baiq mengaku imigran dari surga yang diselundupkan ke Bumi oleh ayahnya di Kamar Pengantin dan tegang.
My rating: 4 of 5 stars
iPusnas, 360 pages
Published August 31st 2016 by Pastel Books
Blurb:
“Dilan memberi penggambaran lain dari sebuah penaklukan cinta & bagaimana indahnya cinta sederhana anak zaman dahulu.”
@refaniris
“Cuma satu yang kuinginkan, aku ingin cowok seperti Dilan.”
@_SLovaFC
“Dilan brengsek! Dia selalu tahu caranya menjadi pusat perhatian, bahkan ketika jadi buku, setiap serinya selalu ditunggu.”
@Tedy_Pensil
“Membaca Dilan itu seperti jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi. Ah, indah, deh. Rasanya gak akan pernah bosan membacanya.”
@agungwyd
“Bukan cuma sekadar novel, tapi bisa menjadikan yang malas baca jadi mau baca.”
@cobra_iqq
“Kisah cintanya gak lebay. Dilan tahu bagaimana memperlakukan wanita. Novelnya keren, bahasanya gak bertele-tele.”
@AH_DILAN
“Terima kasih Dilan telah menginspirasiku lewat ceritamu bersama Milea. Terima kasih Surayah, novelmu seru.”
@EnciSrifiyani
“Dari Dilan kita belajar mengistimewakan wanita, romantis yang gak kuno, bahkan menjadi ayah & bunda yang hebat :)”
@ginaalna
“Kurasa Dilan satu-satunya novel yang aku harap ceritanya terus berlanjut, dan tidak ingin ada akhir.”
@TriaFitriaN41
Ulasan:
Ah, sudahlah. Nggak ada gunanya ngubek-ubek masa lalu yang bikin pedih. Toh, mau diubek-ubek seperti apa pun, masa lalu nggak akan berubah. Dikenang boleh, disesali jangan. Diambil hikmahnya, lebih baik lagi. Karena life must go on, my friend.
Penulisan buku ketiga seri Dilan ini lebih bagus daripada kedua buku sebelumnya. Lebih rapi, dan kaidah berbahasa yang baik juga lebih diperhatikan. Mungkin untuk memberikan pembeda yang lebih nyata, karena dua buku sebelumnya ditulis dari sudut pandang Milea, sedangkan buku terakhir seri ini ditulis dari sudut pandang Dilan.
Bagian kocaknya lebih terasa lucu, mungkin karena dipaparkan dari sudut pandang Dilan. Walaupun ada bagian yang mengulang kejadian buku-buku sebelumnya, tapi bagian-bagian itu diceritakan berbeda. Setelah membaca buku ini, kejadian-kejadian dari buku-buku sebelumnya jadi terasa lebih detail. Ketiga bukunya terasa saling melengkapi.
Seri ini sepenangkapan saya berisi curahan hati dari sebuah hubungan remaja putra dan putri. Semua diserahkan ke pembaca bagaimana menyikapinya. Kalau saya, inti dari pemaparan cerita ini adalah untuk menjelaskan salah satu proses kehidupan, yang bisa jadi penuh suka cita, kekeraskepalaan, kesedihan, serta usaha untuk mengikhlaskan. Dan semuanya diceritakan dengan sederhana, sesederhana kejadian yang terjadi saban harinya, yang bakal nggak kentara kalau nggak ditulis.
Baper? Ya, saya setuju kalau buku ini bikin baper. Tapi bagian paling bikin baper menurut saya adalah bagian ketika Dilan menceritakan ayahnya. Di buku sebelumnya, keluarga Dilan yang paling banyak disinggung adalah bundanya Dilan. Sebagai pelengkap, buku ini banyak menceritakan tentang sang ayah.
Kok sosok ayah yang dijabarkan oleh Dilan hampir sama dengan yang saya rasakan, walaupun latar belakang beliau berdua ini sangat berbeda. Bagi saya, sosok ayah adalah sosok yang misterius. Jarang berinteraksi langsung secara verbal (bahkan saat berbicara pun kesannya berteka-teki, sampai saya nggak bisa membedakan kapan beliau serius karena terkesan seperti bercanda), tapi bahasa tubuhnya bisa kentara dibaca. Tapi kalau sudah keluar ketegasannya, sangat bijaksana kalau tidak menjawab balik.
Nah, jadi curhat, kan. Jadi sesenggukan, kan. Jadi rindu, kan. Jadi pengen pulang, kan. Kalau saja saya sekarang sedang nggak diusik oleh “spectra labil yang hanya muncul di durasi tertentu” (abaikan), saya bakal browsing tiket untuk pulang. Tapi rasa tanggung jawab ini masih menahan saya di sini.
Yah, sekali lagi, life must go on. Mau disinggung sesering apa pun, masa lalu nggak akan kembali. Lebih baik diikhlaskan saja, karena memang sudah bukan jalannya (ngomong sih, gampang). Tapi, perasaan yang tertinggal itu tanggung jawab masing-masing. Kalau belum move on, jangan salahkan pihak lain.
View all my reviews
Tentang penulis:
Pidi Baiq |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar