Sebetulnya aku sudah lama banget terjebak dalam fase reading slump yang cukup parah. Sudah sekitar 2 tahun terakhir ini, progress bacaku
melamban drastis. Aku jadi hanya sempat membaca 3 buku tahun lalu, dari yang
bisa membaca paling tidak 25-30 buku per tahun dengan total halaman mencapai
8.000-an lebih.
Awalnya memang karena tidak sempat. Aku punya banyak tugas
yang harus diselesaikan, terutama ketika aku mulai kuliah lagi, menekuni
riset, dan beradaptasi di tempat baru.
Terutama riset. Aku harus membaca banyak sekali referensi artikel ilmiah berbahasa inggris, hingga aku sampai merasa "eneg" membaca. Padahal membaca adalah hobi dan rekreasi yang sampai menjelma menjadi passion. Aku sampai merasa bersalah karena sempat merasa bosan membaca.
Membaca adalah hobiku ketika punya waktu senggang dan "pelarian" ketika ingin memperbaiki mood. Bacaan ringan, terutama. Sayangnya, aku tidak bisa berkonsentrasi membaca. Ada perasaan takut yang bercampur aduk.
Ya ampun, kok rasanya ngeri sendiri pas menyadari kalau rasa takutku banyak banget. Sedih banget rasanya.
Aku memang sulit menghentikan baca suatu buku kalau belum selesai. Hal ini ada sisi positif dan negatifnya ternyata. Sisi positifnya adalah aku jadi bertanggung jawab untuk menyelesaikan baca suatu buku yang sudah kumulai. Tapi sisi negatifnya adalah aku jadi tidak pandang waktu. Aku bisa tidak tidur semalaman untuk menyelesaikan baca suatu buku. Keesokan harinya aku menjadi sangat mengantuk dan tidak bisa berkonsentrasi seharian penuh. Hasilnya, aku jadi kesal dengan diri sendiri karena tidak bisa memanajemen waktu dan mengatur prioritas.
Namun demikian, kesehatan mentalku bergantung pada kebahagianku. Membaca adalah salah satu sumber kebahagiaan buatku. Tapi, aneh sekali rasanya, ketika sumber kebahagiaan malah menjadi sumber kegelisahan (anxiety). Lha, terus gimana caranya aku berekreasi?
Aku jadi terlalu banyak menghabiskan waktu dengan gadget, yaitu smartphone. Telepon pintar ini memang sangat pintar memanipulasi. Buka sosmed (Twitter), scroll, scroll, scroll. Bosan, buka aplikasi musik, dengerin podcasts, buka aplikasi video, nonton video. Sampai nggak sadar kalau sosmed lama-lama jadi toxic. Rasanya jadi makin stress.
Perasaan takut membaca buku di luar bacaan wajib ini masih terbawa sampai sekarang. Aku sudah mencoba mengedukasi diri sendiri kalau membaca itu bukan balapan. Tapi, ketika aku hanya ingin membaca untuk rekreasi dan melepas penat, aku masih bisa mendengar diriku sendiri berbisik, "Hey, aku masih harus membaca referensi tentang 'ini' dan 'itu'. Aku membuang-buang waktu dengan membaca sesuatu yang lain. Harusnya aku jangan berkonsentrasi ke hal lain. Belajar aja masih belum bener! Bahasa Jepang belum lancar! Nggak usah aneh-aneh!"
Padahal kalau sedang menemui jalan buntu di riset, hasil tidak seperti harapan, tidak menemukan referensi yang diinginkan, tidak bisa berkonsentrasi membaca artikel, rasanya ingin lari ke dunia fantasi. Membaca fiksi.
Baca, jangan?
Baca. Aku lagi stress.
Baca, jangan?
Jangan. Masih banyak kerjaan.
Aku membuat stress diriku sendiri.
Kalau saja aku bisa membuat otakku bersekat-sekat. Ada ruang untuk berkonsentrasi pada riset dan membaca artikel ilmiah terkait riset. Ada ruang untuk berkonsentrasi pada bacaan untuk rekreasi. Masing-masing terpisah dan tidak mengganggu satu sama lain. Jadi aku tidak perlu merasa bersalah. Tidak perlu memilih antara riset atau kesehatan mental.
Aku pernah membaca twit seorang peneliti yang juga hobi membaca, kalau ketika dia di gradschool (Graduate School / Sekolah Pascasarjana), dia jadi takut membaca. Kalau tidak salah kata-katanya:
kira-kira seperti itu. Sayangnya, sudah cukup lama twit ini masuk halaman liked, jadi sangat jauh untuk di-scroll ke bawah, jadi aku tidak bisa menunjukkan seperti apa tepatnya. Tapi hal ini menyadarkanku kalau ternyata bukan hanya aku saja yang mengalaminya. Kok serem, ya. Aku yang seneng banget membaca bisa takut membaca.
*peluk*
Terutama riset. Aku harus membaca banyak sekali referensi artikel ilmiah berbahasa inggris, hingga aku sampai merasa "eneg" membaca. Padahal membaca adalah hobi dan rekreasi yang sampai menjelma menjadi passion. Aku sampai merasa bersalah karena sempat merasa bosan membaca.
Membaca adalah hobiku ketika punya waktu senggang dan "pelarian" ketika ingin memperbaiki mood. Bacaan ringan, terutama. Sayangnya, aku tidak bisa berkonsentrasi membaca. Ada perasaan takut yang bercampur aduk.
- Takut tidak bisa berhenti membaca sebelum selesai padahal aku masih punya tugas membaca referensi lain,
- Takut tidak bisa berkonsentrasi belajar karena membaca bacaan di luar tugas,
- Takut stress karena terus-terusan belajar,
- Takut kemampuanku me-review akan punah kalau nggak diasah,
- Takut nggak gaul karena nggak update buku baru,
- Takut bacanya lama ...
Ya ampun, kok rasanya ngeri sendiri pas menyadari kalau rasa takutku banyak banget. Sedih banget rasanya.
Aku memang sulit menghentikan baca suatu buku kalau belum selesai. Hal ini ada sisi positif dan negatifnya ternyata. Sisi positifnya adalah aku jadi bertanggung jawab untuk menyelesaikan baca suatu buku yang sudah kumulai. Tapi sisi negatifnya adalah aku jadi tidak pandang waktu. Aku bisa tidak tidur semalaman untuk menyelesaikan baca suatu buku. Keesokan harinya aku menjadi sangat mengantuk dan tidak bisa berkonsentrasi seharian penuh. Hasilnya, aku jadi kesal dengan diri sendiri karena tidak bisa memanajemen waktu dan mengatur prioritas.
Namun demikian, kesehatan mentalku bergantung pada kebahagianku. Membaca adalah salah satu sumber kebahagiaan buatku. Tapi, aneh sekali rasanya, ketika sumber kebahagiaan malah menjadi sumber kegelisahan (anxiety). Lha, terus gimana caranya aku berekreasi?
Aku jadi terlalu banyak menghabiskan waktu dengan gadget, yaitu smartphone. Telepon pintar ini memang sangat pintar memanipulasi. Buka sosmed (Twitter), scroll, scroll, scroll. Bosan, buka aplikasi musik, dengerin podcasts, buka aplikasi video, nonton video. Sampai nggak sadar kalau sosmed lama-lama jadi toxic. Rasanya jadi makin stress.
Perasaan takut membaca buku di luar bacaan wajib ini masih terbawa sampai sekarang. Aku sudah mencoba mengedukasi diri sendiri kalau membaca itu bukan balapan. Tapi, ketika aku hanya ingin membaca untuk rekreasi dan melepas penat, aku masih bisa mendengar diriku sendiri berbisik, "Hey, aku masih harus membaca referensi tentang 'ini' dan 'itu'. Aku membuang-buang waktu dengan membaca sesuatu yang lain. Harusnya aku jangan berkonsentrasi ke hal lain. Belajar aja masih belum bener! Bahasa Jepang belum lancar! Nggak usah aneh-aneh!"
Padahal kalau sedang menemui jalan buntu di riset, hasil tidak seperti harapan, tidak menemukan referensi yang diinginkan, tidak bisa berkonsentrasi membaca artikel, rasanya ingin lari ke dunia fantasi. Membaca fiksi.
Baca, jangan?
Baca. Aku lagi stress.
Baca, jangan?
Jangan. Masih banyak kerjaan.
Aku membuat stress diriku sendiri.
Kalau saja aku bisa membuat otakku bersekat-sekat. Ada ruang untuk berkonsentrasi pada riset dan membaca artikel ilmiah terkait riset. Ada ruang untuk berkonsentrasi pada bacaan untuk rekreasi. Masing-masing terpisah dan tidak mengganggu satu sama lain. Jadi aku tidak perlu merasa bersalah. Tidak perlu memilih antara riset atau kesehatan mental.
Aku pernah membaca twit seorang peneliti yang juga hobi membaca, kalau ketika dia di gradschool (Graduate School / Sekolah Pascasarjana), dia jadi takut membaca. Kalau tidak salah kata-katanya:
"Gradschool makes me fears reading something I love,"
kira-kira seperti itu. Sayangnya, sudah cukup lama twit ini masuk halaman liked, jadi sangat jauh untuk di-scroll ke bawah, jadi aku tidak bisa menunjukkan seperti apa tepatnya. Tapi hal ini menyadarkanku kalau ternyata bukan hanya aku saja yang mengalaminya. Kok serem, ya. Aku yang seneng banget membaca bisa takut membaca.
*peluk*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar