Diterjemahkan oleh Annisa Cinantya Putri dan Widya Kirana
Format 416 halaman, Edisi Bahasa Indonesia
Terbit 1 November 2014 oleh Gramedia Pustaka Utama
Terbit 1 November 2014 oleh Gramedia Pustaka Utama
Pertama kali terbit 1 Januari 1869
Audiobook by Storytel, 9 jam
Dibacakan oleh Asteria Arlita
Gadis-gadis March––Meg, Jo, Beth, dan Amy, kini telah dewasa. Ayah mereka, Mr. March, telah pulang dengan selamat dari medan perang. Begitu pula John Brooke, kekasih Meg. Jo yang tomboi sedang belajar untuk menjadi lebih anggun. Beth semakin ramping dan pendiam, dan matanya yang indah itu selalu menyorotkan kebaikan. Sedangkan Amy, pada usia enam belas tahun, memiliki pembawaan seperti wanita dewasa. Keempat gadis March, dengan didampingi ibu mereka yang bijak, akan menemukan cinta mereka masing-masing dan menyambut masa depan.
Ulasan:
Membaca-dengar versi terjemahannya betul-betul membuatku lebih mendalami isi buku ini. Konflik dan klimaksnya jadi lebih terasa harunya, sedihnya, hingga perasaan bahagia yang membuncah, jadi terasa berkali-kali lipat "gregetnya".
Saking terasa sedihnya, aku sampai menitikkan air mata. Padahal waktu mendengarkan versi Bahasa Inggris-nya aku tidak sampai menangis, walaupun rasa sedihnya betul-betul terasa. Penulis sepertinya sengaja untuk tidak membuat ceritanya telalu sedih dengan menjelaskan hikmah dan moral di baliknya, tapi bahasanya yang indah malah justru membuat perasaan semakin sedih, haru, dan melankolis.
Hal yang membuat sedih tentu saja adalah kematian seseorang. Itu adalah bagian tersedih kedua. Bagian yang paling sedih adalah perasaan Jo atas kondisi yang tentu di luar kontrolnya, dan perasaan tidak berdaya dan kesepian yang tiba-tiba menyerangnya. Itu adalah perasaan yang menyesakkan. Rangkaian kalimatnya yang "indah" malah justru membuat pendengarnya semakin sedih dan ikut larut dalam perasaan tokohnya.
Terjemahannya sungguh luar biasa. Selain itu, karena aku mendengarkan audiobook, penuturnya menceritakan buku ini dengan sangat baik, dan bahkan bisa membacakan beberapa kata dalam Bahasa Perancis, Jerman, dan kata-kata cadel anak kecil. Lucu sekali.
Selain beberapa konflik dan klimaks yang cukup mengguncang perasaan, buku ini juga menceritakan kehidupan keluarga kecil dengan orang tua muda. Ada sedikit konten tentang parenting dan kerja sama ayah dan ibu muda dalam menghadapi kerewelan anak.
Dibandingkan dengan versi aslinya yang berbahasa Inggris, aku lebih suka versi terjemahannya, karena dapat membuatku merasakan berbagai hal dan perasaan berkali-kali lipat lebih mantap daripada membaca versi aslinya. Hal ini tentu saja karena tidak ada batasan bahasa yang harus diakomodasi di otak sehingga otak tidak harus memproses bahasa lebih lama dan informasi bisa langsung diterima. Selain itu, hal ini juga didukung oleh terjemahan yang sangat apik serta pembacaan dari penutur yang ciamik. Tapi bisa jadi juga karena aku terlalu lelah mendengarkan versi aslinya yang sangat panjang, berbeda dengan versi terjemahannya yang dibagi menjadi dua buku terpisah.
Cuma ada hal yang sedikit mengganjal. Dalam terjemahan, Jo menganggap Laurie seperti kakak, padahal kalau mendengarkan versi aslinya, Jo menyebutnya "brother" tapi secara otomatis otakku menganggap sebagai adik. Laurie memang lebih tua dari Jo sedikit, seusia Meg, lah. Tapi dari sifat dan perilaku Laurie, lebih cocok kalau dianggap sebagai adik daripada kakak.
Penerjemahan memang agak tricky sih, ya. Aku malah kadang lupa kalau urutan keempat bersaudara March adalah Meg, Jo, Beth dan terakhir Amy, kalau tidak mendengarkan versi terjemahannya. Aku sering keliru dan menganggap urutannya adalah Jo, Meg, Amy, dan terakhir Beth. Sepertinya membaca sinopsis dan blurb itu juga penting untuk membentuk mindset kalau ketinggalan dalam mendengarkan dan malas untuk mengulang lagi.
Masih ada dua buku lagi dalam seri Little Women ini, tapi sepertinya aku mau beristirahat dulu dan membaca buku lain.
View all my reviews
Saking terasa sedihnya, aku sampai menitikkan air mata. Padahal waktu mendengarkan versi Bahasa Inggris-nya aku tidak sampai menangis, walaupun rasa sedihnya betul-betul terasa. Penulis sepertinya sengaja untuk tidak membuat ceritanya telalu sedih dengan menjelaskan hikmah dan moral di baliknya, tapi bahasanya yang indah malah justru membuat perasaan semakin sedih, haru, dan melankolis.
Hal yang membuat sedih tentu saja adalah kematian seseorang. Itu adalah bagian tersedih kedua. Bagian yang paling sedih adalah perasaan Jo atas kondisi yang tentu di luar kontrolnya, dan perasaan tidak berdaya dan kesepian yang tiba-tiba menyerangnya. Itu adalah perasaan yang menyesakkan. Rangkaian kalimatnya yang "indah" malah justru membuat pendengarnya semakin sedih dan ikut larut dalam perasaan tokohnya.
Terjemahannya sungguh luar biasa. Selain itu, karena aku mendengarkan audiobook, penuturnya menceritakan buku ini dengan sangat baik, dan bahkan bisa membacakan beberapa kata dalam Bahasa Perancis, Jerman, dan kata-kata cadel anak kecil. Lucu sekali.
Selain beberapa konflik dan klimaks yang cukup mengguncang perasaan, buku ini juga menceritakan kehidupan keluarga kecil dengan orang tua muda. Ada sedikit konten tentang parenting dan kerja sama ayah dan ibu muda dalam menghadapi kerewelan anak.
Dibandingkan dengan versi aslinya yang berbahasa Inggris, aku lebih suka versi terjemahannya, karena dapat membuatku merasakan berbagai hal dan perasaan berkali-kali lipat lebih mantap daripada membaca versi aslinya. Hal ini tentu saja karena tidak ada batasan bahasa yang harus diakomodasi di otak sehingga otak tidak harus memproses bahasa lebih lama dan informasi bisa langsung diterima. Selain itu, hal ini juga didukung oleh terjemahan yang sangat apik serta pembacaan dari penutur yang ciamik. Tapi bisa jadi juga karena aku terlalu lelah mendengarkan versi aslinya yang sangat panjang, berbeda dengan versi terjemahannya yang dibagi menjadi dua buku terpisah.
Cuma ada hal yang sedikit mengganjal. Dalam terjemahan, Jo menganggap Laurie seperti kakak, padahal kalau mendengarkan versi aslinya, Jo menyebutnya "brother" tapi secara otomatis otakku menganggap sebagai adik. Laurie memang lebih tua dari Jo sedikit, seusia Meg, lah. Tapi dari sifat dan perilaku Laurie, lebih cocok kalau dianggap sebagai adik daripada kakak.
Penerjemahan memang agak tricky sih, ya. Aku malah kadang lupa kalau urutan keempat bersaudara March adalah Meg, Jo, Beth dan terakhir Amy, kalau tidak mendengarkan versi terjemahannya. Aku sering keliru dan menganggap urutannya adalah Jo, Meg, Amy, dan terakhir Beth. Sepertinya membaca sinopsis dan blurb itu juga penting untuk membentuk mindset kalau ketinggalan dalam mendengarkan dan malas untuk mengulang lagi.
Masih ada dua buku lagi dalam seri Little Women ini, tapi sepertinya aku mau beristirahat dulu dan membaca buku lain.
View all my reviews
Tentang penulis:
Louisa May Alcott
Born
in Germantown, Pennsylvania, The United States, November 29, 1832
Died
March 06, 1888
Website
Genre
Influences
Louisa May Alcott was born in Germantown, Pennsylvania on November 29, 1832. She and her three sisters, Anna, Elizabeth and May were educated by their father, philosopher/ teacher, Bronson Alcott and raised on the practical Christianity of their mother, Abigail May.
Louisa spent her childhood in Boston and in Concord, Massachusetts, where her days were enlightened by visits to Ralph Waldo Emerson’s library, excursions into nature with Henry David Thoreau and theatricals in the barn at Hillside (now Hawthorne’s "Wayside").
Like her character, Jo March in Little Women, young Louisa was a tomboy: "No boy could be my friend till I had beaten him in a race," she claimed, " and no girl if she refused to climb trees, leap fences...."
For Louisa, writing was an early passion. She had a rich imagination and often her stories became melodramas that she and her sisters would act out for friends. Louisa preferred to play the "lurid" parts in these plays, "the villains, ghosts, bandits, and disdainful queens."
At age 15, troubled by the poverty that plagued her family, she vowed: "I will do something by and by. Don’t care what, teach, sew, act, write, anything to help the family; and I’ll be rich and famous and happy before I die, see if I won’t!"
Confronting a society that offered little opportunity to women seeking employment, Louisa determined "...I will make a battering-ram of my head and make my way through this rough and tumble world." Whether as a teacher, seamstress, governess, or household servant, for many years Louisa did any work she could find.
Louisa’s career as an author began with poetry and short stories that appeared in popular magazines. In 1854, when she was 22, her first book Flower Fables was published. A milestone along her literary path was Hospital Sketches (1863) based on the letters she had written home from her post as a nurse in Washington, DC as a nurse during the Civil War.
When Louisa was 35 years old, her publisher Thomas Niles in Boston asked her to write "a book for girls." Little Women was written at Orchard House from May to July 1868. The novel is based on Louisa and her sisters’ coming of age and is set in Civil War New England. Jo March was the first American juvenile heroine to act from her own individuality; a living, breathing person rather than the idealized stereotype then prevalent in children’s fiction.
In all, Louisa published over 30 books and collections of stories. She died on March 6, 1888, only two days after her father, and is buried in Sleepy Hollow Cemetery in Concord.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar